08-05-2008 / 10:01:22
seperti mimpi Bilal yang melafazkan bacaan-bacaan azan
Mimpi merupakan sebuah keadaan ketika manusia mengalami suatu kejadian yang memberikan gambaran kehidupan lain yang terkadang bisa memberikan makna dalam kehidupan sesungguhnya.
Mimpi bisa jadi isyarat yang diberikan oleh Allah kepada hambanya berupa berita baik atau buruk dan mimpi ada yang memiliki makna dan ada pula yang berupa mimpi kosong sekadar permainan setan kepada manusia.
Banyak ayat Al Quran dan riwayat Nabi yang bercerita tentang mimpi. Misalnya, dalam Surat Ash-Shaaffaat (37) ayat 102 yang mengisahkan mimpi Ibrahim ketika ia diharuskan menyembelih putranya, Ismail. Juga dalam Surat Al Fath (48) ayat 27 mengenai mimpi Rasulullah sebelum terjadinya Perjanjian Hudaibiyah.
Tak hanya para nabi, para sahabat pun pernah mengalami mimpi yang pada akhirnya terbukti kebenarannya. Tak seperti mimpi nabi yang sangat terang dan tak perlu ditakwilkan lagi karena merupakan wahyu dari Allah, mimpi para sahabat ada yang perlu ditakwilkan
– seperti mimpi Abu Bakar yang menaiki tangga bersama Rasulullah, tetapi mereka berselisih dua anak tangga. Dalam takwilnya, Abu Bakar menyatakan bahwa kematiannya akan datang dua tahun setelah Rasulullah, dan itu benar-benar terjadi— dan mimpi yang tidak perlu ditakwilkan
– seperti mimpi Bilal yang melafazkan bacaan-bacaan azan. Ketika melaporkannya kepada Rasulullah saw., beliau mengatakan bahwa mimpinya adalah benar. Rasulullah saw. bersabda, “Jika masa semakin dekat, mimpi seorang muslim nyaris tidak pernah dusta. Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian....” (Muttafaq ‘alaih). Ini berarti mimpi seorang mukmin memiliki pertimbangan 1/46 karena 45/46 diberikan pada nabi.
Khalid al-Anbari dalam bukunya Kamus Tafsir Mimpi menyebutkan bahwa tanda mimpi yang benar adalah sebagai berikut.
1. Bersih dari mimpi kosong, bayangan-bayangan yang meresahkan dan menakutkan.
2. Dapat dipahami ketika terjaga.
3. Tidur dalam keadaan pikiran jernih, tidak disibukkan oleh persoalan apa pun.
4. Mimpi tersebut dapat ditakwilkan sesuai dengan apa yang ada di Lauh Mahfuzh.
"Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya), 'Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Hai orang-orang yang terkemuka, terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi.’” (Q.S. Yusuf 12: 43)
Ayat di atas merupakan salah satu contoh ayat yang menjelaskan mengenai sahnya mimpi seorang kafir, jika isi mimpinya berkaitan dengan orang mukmin.
Ada juga mimpi yang dianugerahkan Allah kepada yang dikehendakinya agar ia mendapatkan hidayah. Ini berdasarkan riwayat al-Hakim mengenai keislaman seorang seorang sahabat, Khalid bin Sa’id bin ‘Ash. Keislaman ini terjadi setelah Khalid mengalami mimpi yang sangat menyeramkan. Dalam mimpinya, dia melihat seakan-akan ayahnya hendak mendorongnya ke neraka, sementara Rasulullah saw. berusaha memegang pinggangnya agai ia tidak terjatuh. Juga atas dasar tafsiran Ibn Hasyirin ketika ia didatangi seseorang yang bermimpi jari-jari tangannya yang ketiga dan keempat buntung. Ia menakwilkan bahwa mimpi tersebut sebagai peringatan pada orang itu karena shalatnya bolong-bolong. Sepulangnya dari bertemu Ibn Hasyirin, ia pun bertobat.
Seorang yang merasa telah mengalami mimpi yang benar, janganlah bertindak sembrono meminta sembarang orang untuk menakwilkan mimpi yang dialaminya. Janganlah ia menceritakannya kepada orang yang dengki dan dendam dan kepada orang yang jahil yang ucapannya tertolak tetapi ceritakanlah kepada orang yang berilmu, para ulama yang memiliki keutamaan, orang-orang yang dalam pemahaman terhadap dien Islam.
Macam Mimpi
Rasulullah saw. bersabda, “Mimpi itu ada tiga. Mimpi yang baik merupakan kabar gembira dari Allah. Mimpi yang menyedihkan berasal dari setan, dan mimpi yang datang dari obsesi seseorang. Jika salah seorang di antara kalian mimpi yang menyedihkan maka hendaklah dia bangun lalu shalat dan tidak menceritakannya pada orang lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda, “Mimpi yang baik adalah dari Allah. Sedangkan mimpi yang menakutkan berasal dari setan. Barangsiapa mimpi yang tidak menyenangkan maka hendaklah dia meludah ke sebelah kirinya tiga kali dan berlindung diri kepada Allah dari setan, maka mimpi tersebut tidak akan membahayakannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bertolak dari hadis-hadis di atas, menurut Aam Amiruddin dalam bukunya Menelanjangi Strategi Jin, kita bisa membuat sejumlah kesimpulan.
1. Mimpi bisa terjadi karena suatu obsesi. Obsesi tersebut begitu kuat dalam memori kita sehingga muncul dalam mimpi. Misalnya, seorang pemuda yang terobsesi menikahi Dian Sastro, sangat mungkin dia bermimpi menikah atau bertemu dengannya. Ini adalah mimpi yang bersifat fitriah atau alamiah.
2. Bermimpi yang baik. Mimpi ini datangnya dari Allah, kita wajib mensyukurinya dan boleh menceritakannya pada orang lain sebagai wujud rasa syukur.
3. Mimpi buruk atau menakutkan. Mimpi ini datangnya dari setan. Kita wajib berlindung diri pada Allah, bahkan kalau memungkinkan meludah tiga kali ke sebelah kiri dan jangan menceritakannya pada orang lain –kecuali kalau ingin mengetahui takwil mimpi tersebut. Sebab kalau kita menceritakannya, setan akan merasa senang kalau gangguannya itu menjadi bahan pembicaraan manusia.
Berhati-hatilah jika kita bermimpi bertemu dengan orang yang sudah meninggal, misalnya bertemu dengan ayah atau ibu kita yang sudah wafat, sebab dikhawatirkan setan menyerupainya. Jadi, kalau kita bermimpi bertemu dengan orang yang sudah wafat, sebaiknya bersegeralah berlindung kepada Allah.
Tafsir Mimpi
Bolehkah kita menakwilkan mimpi? Mari kita becermin pada sejarah. Nabi Yusuf a.s. pernah menakwilkan mimpi dua orang tahanan ketika ia dipenjara bersama mereka dan juga mimpi seorang Raja Mesir. Abu Bakar merupakan orang yang pandai menakwilkan mimpi, salah satunya dengan takwilnya dalam peristiwa di atas. Ini membuktikan bahwa menakwilkan mimpi dibenarkan dalam ajaran Islam, namun kriteria seorang penakwil mimpi sangat jauh dari mudah.
Seorang penakwil mimpi haruslah orang yang jujur (shidiq), cerdas, cerdik, dan suci dari perbuatan keji. Ia harus mengerti tentang Kitab Allah dan sunah Rasulullah dan ia pun harus paham benar ilmu mentakwilkan mimpi. Ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Imam al-Gazali yang menyatakan bahwa fungsi roh sebagai penangkap isyarat Ilahi bagaikan cermin. Dia bisa memantulkan cahaya. Orang yang sidiq merupakan cermin yang paling bersih dan paling bening di mana cahayanya tidak terdistorsi sama sekali. Jadi, dia bisa menangkap isyarat tersebut.
Untuk menjadi seorang penafsir mimpi, ada beberapa etika yang harus diperhatikan, di antaranya adalah menggembirakan saudaranya ketika ia menceritakan mimpinya; tidak menyebarkan mimpi tersebut karena itu merupakan amanah; tidak menakwilkannya dengan tergesa-gesa; jika tidak memungkinkan dirinya menakwilkan mimpi tersebut, jangan ragu untuk melimpahkan kepada orang yang lebih tahu (berilmu) dan jangan merasa berat melakukannya; memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda, maksudnya tidak menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeda karena perbedaan kondisi pelakunya; dan sebagainya.
Sangat disayangkan, dewasa ini terlalu banyak orang yang secara sembarangan menakwikan mimpi.
Di antara alasan keberanian mereka adalah adalah
(1) lemahnya keimanan;
(2) lalai dari kehidupan akhirat;
(3) cinta kemayhuran; dan
(4) kurangnya ilmu.
Dari syarat-syarat yang dikemukakan di atas, tak heran jika ada sebagian masyarakat yang mengharamkan penafsiran mimpi karena dikhawatirkan akan terjebak pada kemusyrikan. Pun dalam buku-buku takwil mimpi, tidak disebutkan secara gamblang tafsiran tersebut. Dalam satu mimpi saja, seorang penakwil bisa megartikan mimpi tersebut menjadi beberapa arti dan tidak ada jaminan mana yang benar. Bahkan mereka pun menganalogikan mimpi tersebut sebagai ramalan cuaca. Kita bisa mengantisipasi cuaca, namun tidak pasti karena Allah yang menentukan. Wallahu a’lam
Sumber : MaPI April 2006
Author : PercikanIman.ORG
Senin, 09 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar